Banda Aceh – PT Flora Agung berencana membangun pabrik minyak goreng di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun, Lhokseumawe, Aceh dengan investasi Rp 100 miliar hingga Rp 156 miliar.
Chief Executive Officer PT Flora Agung Ivansyah menyebutkan, pabrik itu ditargetkan rampung dalam waktu enam bulan. “InsyaAllah kalau untuk pabrik minyak goreng pertama ini itu di KEK Arun, insyaAllah nanti sore kita tangan-tangan kerjasama. Bulan depan kita sudah mulai peletakan batu pertama,” kata Ivansya usai diskusi dengan Pemerintah Aceh, Rabu (30/4/2025).
Irvansyah menjelaskan, pihaknya membutuhkan sedikit revitalisasi karena dalam pembangunan menggunakan aset yang sudah ada. Prosesnya tidak lagi dimulai dari nol termasuk pengadaan lahan.
Dia menargetkan, proses pembangunan berjalan seperti di Pulau Jawa yaitu dalam waktu 3-4 bulan. “Mungkin di sini harapan kita 3-4 bulan juga selesai, mungkin paling lama 6 bulan,” jelasnya.
Selain itu, PT Flora Agung juga disebut akan membangun refinery dengan target produksi 1.000 hingga 1.500 ton perhari. Irvansyah mengaku sejauh ini tidak mengalami kendala untuk berinvestasi di Aceh termasuk dalam hal perizinan.
Dia juga mengaku tidak khawatir dengan pungutan liar (pungli) karena Pemerintah Aceh disebut sudah menjamin keamanan dan lainnya. “Kita harap pemerintah Aceh terus support kita seperti ini. Jadi saya pikir tidak ada kendala ke depannya. Apalagi investasi pertama, masyarakat bisa merasakan nikmatnya, saya rasa pasti akan disupport,” ujarnya.
Diskusi yang digelar di Kyriad Hotel Banda Aceh itu dihadiri Asisten I Pemerintah Aceh Azwardi, SKPA terkait, PT Pembangunan Aceh (PEMA) dan pihak perbankan. Azwardi dalam paparannya menyebutkan Aceh memiliki luas areal perkebunan mencapai 1,17 juta hektar dengan 22 komoditas unggulan.
Di antaranya kelapa sawit, kopi arabika dan robusta, karet, nilam, dan pala. Komoditas kelapa sawit menjadi yang paling dominan, dengan produksi Crude Palm Oil (CPO) mencapai lebih dari 808 ribu ton pada 2023 dari 73 pabrik yang tersebar di 12 kabupaten/kota.
Menurutnya, nilai tambah dari industri hilir sawit di Aceh dinilai masih sangat minim. Pemerintah Aceh disebut telah menyiapkan lahan dan skema pembangunan pabrik mini CPO serta pabrik turunan seperti minyak goreng terutama di Nagan Raya dan Subulussalam.
“Dengan adanya pabrik, diharapkan stabilitas harga lebih terjaga, petani sejahtera, dan pusat pertumbuhan ekonomi baru muncul di daerah-daerah penghasil komoditi dimaksud,” kata Azwardi.
Selain sawit, sektor peternakan juga menjadi perhatian serius. Dengan lahan penggembalaan dan hijauan pakan ternak seluas 8.725 hektar, Aceh memiliki potensi besar namun belum memiliki peternakan skala besar.
“Infrastruktur dasar terus kita siapkan. Pemerintah Aceh terbuka terhadap ide dan inisiatif swasta, dan siap memfasilitasi perizinan serta membangun kemitraan lokal,” ujarnya.