Penulis: Abdi Dharma, S.H., M.H – Analis Kekayaan Intelektual Kanwil Kemenkumham Aceh
MOTIF Pinto Aceh adalah salah satu simbol budaya yang kuat dari Provinsi Aceh, dengan sejarah yang berakar sejak 1953 ketika pertama kali didesain oleh pengrajin emas dari Blang Oi, Mahmud Ibrahim. Terinspirasi dari gerbang peninggalan Sultan Iskandar Muda, Pintu Khob, motif ini merefleksikan identitas lokal yang mendalam.
Pintu Khob sendiri adalah gerbang penghubung antara Taman Sari dan Krueng Daroy, tempat yang menjadi saksi aktivitas para putri Kesultanan Aceh Darussalam di masa lalu. Kini, nilai sejarah dan artistik dari motif ini menjadikannya salah satu warisan budaya tak benda yang diakui secara nasional.
Sayangnya, komersialisasi motif Pinto Aceh oleh perusahaan besar tanpa kejelasan izin memicu pertanyaan dari masyarakat Aceh. Apakah ada proses perizinan yang sah? Dan apakah Aceh sebagai pemilik budaya mendapatkan manfaat dari eksploitasi komersial ini?
Komunalitas dan Legalitas Kekayaan Budaya
Secara hukum, motif Pinto Aceh masuk dalam salah satu kategori pelindungan Kekayaan Intelektual Komunal, yaitu Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) yang menurut UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, kepemilikannya dipegang oleh negara. Dalam hal ini, pengelolaan izin penggunaan komersial seharusnya melibatkan pemerintah daerah sebagai wakil negara. Peraturan Pemerintah (PP) No. 56 Tahun 2022 juga dengan tegas menyebutkan bahwa pemanfaatan EBT untuk kepentingan komersial harus mendapat izin dengan memperhatikan pembagian manfaat yang adil.
Namun, hingga kini belum ada kejelasan terkait apakah perusahaan tekstil nasional yang menggunakan motif ini telah memperoleh izin dari pemerintah Aceh. Jika memang belum ada kesepakatan resmi, maka ini menjadi alarm bagi pemerintah daerah untuk bertindak. Pengelolaan izin dan pembagian manfaat sangat penting agar pemanfaatan kekayaan budaya ini tidak sekadar menguntungkan pihak perusahaan, tetapi juga memberikan dampak positif bagi masyarakat Aceh.
Belajar dari Pemprov Bali: Saling Menghormati dan Saling Menguntungkan dari komersialisasi Tenun Endek Bali oleh Crhristian Dior
Kisah sukses kerja sama komersialisasi Tenun Endek Bali oleh Christian Dior bisa menjadi contoh bagi Aceh. Ketika Pemerintah Daerah Provinsi Bali menyatakan persetujuannya atas penggunaan motif tenun Endek Bali pada produk-produk Dior. Sehingga sebagai bentuk pengakuan terhadap hak atas kepemilikan tenun endek bali, Christian Dior setuju untuk memberikan pemberdayaan kepada para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah yang memproduksi tenun endek bali, dan mencantumkan label pengakuan pada setiap produk Dior yang menggunakan tenun endek bali sebagai koleksi untuk spring/summer 2021, yang tersedia di Boutique Dior seluruh dunia mulai bulan Maret 2021.
Pemerintah Provinsi Bali tidak hanya menyambutnya dengan baik, tetapi juga merumuskan bentuk kerja sama atas dasar saling menghormati dan saling menguntungkan. Langkah cerdas ini tidak hanya memastikan pengakuan atas hak milik budaya Bali, tetapi juga memberikan peluang untuk mempromosikan kebudayaan di tingkat internasional, pemberdayaan UMKM, dan pembinaan para pengrajin lokal, baik dalam bentuk pelatihan dan pengembangan keterampilan. bentuk kerja sama ini membawa manfaat ekonomi yang nyata sekaligus menjaga kelestarian budaya lokal.
Aceh seharusnya belajar dari pengalaman ini. Komersialisasi motif Pinto Aceh oleh perusahaan besar dapat dioptimalkan untuk menciptakan kerja sama yang mendukung peningkatan ekonomi daerah. Ini bisa berbentuk pembinaan pengrajin, investasi dalam industri tekstil lokal, hingga penciptaan lapangan kerja di Aceh. Semua ini dapat diwujudkan melalui skema benefit sharing yang adil, saling menghargai dan saling menguntungkan.
Tantangan Inventarisasi Kekayaan Budaya
Namun, ada masalah mendasar yang perlu diselesaikan, Motif Pinto Aceh hingga kini belum tercatat didalam Sistem Informasi Kekayaan Intelektual Komunal (KIK). Tanpa pencatatan ini, pemerintah dan masyarakat Aceh berada dalam posisi rentan terhadap eksploitasi budaya tanpa kompensasi yang adil. Pasal 3 PP No. 56 Tahun 2022 jelas menyebutkan bahwa negara, melalui pemerintah pusat dan daerah, diwajibkan untuk menginventarisasi, menjaga, dan memelihara kekayaan intelektual komunal. Pemerintah Aceh perlu segera melakukan pencatatan KIK motif pinto aceh ini agar mendapatkan hak moral yang bersifat inklusif dan perlindungan secara hukum, serta agar dapat dimanfaatkan dengan bijaksana.
Pencatatan KIK sebagai bukti kepemilikan
Pada dasarnya pencatatan kekayaan intelektual komunal tidaklah rumit, pelapor hanya perlu mengisi formulir inventarisasi Ekspresi Budaya Tradisional, dengan melampirkan dokumentasi berupa gambar, foto, video (jika ada) dan surat pernyataan dari pejabat pemerintah daerah yang berwenang, untuk selanjutnya diserahkan kepada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM di Provinsi setempat.
Dengan dilakukannya pencatatan ini dapat dinyatakan bahwa kepemilikan Motif Pinto Aceh ini adalah milik masyarakat Aceh, dan dengan sudah tercatatnya MotIf Pinto Aceh pada Sistem Informasi Kekayaan Intelektual Komunal menjadi legal standing bagi Pemerintah Daerah yang diharapkan dapat meningkatkan posisi tawar dalam bernegosiasi terkait pemanfaatan untuk kepentingan komersial.
Pentingnya Kesadaran dan Aksi Nyata
Aceh memiliki potensi besar dari sisi kekayaan budaya, termasuk motif Pinto Aceh. Tetapi, tanpa upaya serius dari pemerintah daerah untuk mengelola dan memanfaatkannya dengan tepat, kekayaan ini hanya akan menguntungkan pihak luar. Komersialisasi harus dipandang sebagai kesempatan, bukan ancaman, jika dilakukan dengan pengaturan yang tepat. Pasal 33 ayat (3) PP No. 56 Tahun 2022 menyebutkan bahwa Pemanfaatan KIK untuk kepentingan komersial harus mendapatkan izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sudah saatnya Pemerintah Aceh bergerak cepat. Mengatur skema benefit sharing yang adil, pelindungan hukum yang kuat, serta mencatatkan motif Pinto Aceh sebagai Ekpresi Budaya Tradisional harus menjadi prioritas, agar terlindungi dari klaim sepihak maupun upaya komersialisasi tanpa izin. serta memperkuat identitas budaya Aceh di tingkat nasional dan global.