Banda Aceh – Suaka Margasatwa (SM) Rawa Singkil kehilangan tutupan hutan seluas 1.324 hektare atau setara dengan 140 kali luas Blang Padang dalam kurun waktu lima tahun terakhir yakni 2019 hingga Juni 2023. Rumah terakhir bagi orangutan Sumatera itu terus dirambah dan dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Hal itu disampaikan dalam Pemutaran Film Demi Sawit dan Diskusi bertajuk “Karpet Merah di Lahan Basah SM Rawa Singkil” di Sekretariat FJL Aceh, Banda Aceh pada Sabtu (29/7/2023) yang diselenggarakan oleh Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh.
Dalam kegiatan diskusi itu turut hadir Koordinator Polhut Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Manager GIS HAkA, dan Penyidik Balai Penegakkan Hukum (Gakkum) KLHK Wilayah Sumatera untuk memberikan pandangannya terhadap deforestasi di SM Rawa Singkil.
Baca juga: LPG 3 Kg di Pidie Bukan Langka, Tapi…
Manager Geographic Information System Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Lukmanul Hakim, menyampaikan angka kehilangan hutan di SM Rawa Singkil meningkat hampir tiap tahunnya. Data terbaru dari Januari-Juni 2023 jumlahnya sudah mencapai 372 hektare meningkat mencapai 57 persen dibandingkan periode sebelumnya.
“Jika dilihat perbandingan di tahun 2022 selama satu tahun penuh sekitar 716 Ha kehilangan tutupan hutan di SM Rawa Singkil. Jadi, enam bulan pertama di tahun 2023 itu dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya meningkat deforestasi 57 persen, dan ini masih menjadi alarm untuk kita karena ada peningkatan di periode yang sama,” kata Lukman dalam diskusi tersebut.
Di awal kegiatan diskusi, FJL Aceh juga menayangkan film indepth dokumenter Demi Sawit yang diproduksi oleh tim FJL Aceh. Dalam film itu, FJL Aceh membagikan hasil liputan lapangannya terhadap kondisi SM Rawa Singkil yang kerap dirambah dan sudah berubah peruntukannya menjadi kebun kelapa sawit.
Koordinator Forum Jurnalis Lingkungan Aceh, Munandar, mengatakan bahwa dalam proses produksi dan pengambilan gambar mereka menemukan banyak fakta terkait deforestasi di SM Rawa Singkil khususnya yang ada di Desa Ie Meudama, Trumon, Aceh Selatan. Hal itu juga diungkapkan dalam film bahwa perambahan di hutan konservasi tersebut dibekengi oleh aparat desa, pejabat, dan penegak hukum.
Baca juga: Kakek di Lhokseumawe Tikam Istri Hingga Tewas
“Saat produksi film ini, kami tidak sengaja bertemu langsung dengan seorang perambah yang selama ini diketahui sebagai pengusaha dan sudah memasok hasil kelapa sawitnya ke perusahaan global. Beliau menyampaikan bahwa aparat desa, pejabat, dan penegak hukum juga ikut merambah. Itu juga bisa dilihat dalam film,” kata Nandar.
Di samping itu, lahan merah biasa disebutkan masyarakat untuk menyebutkan SM Rawa Singkil ini juga diperjualbelikan oleh masyarakat setempat. Karena itu, Nandar mengatakan tidak mudah bagi orang luar terutama wartawan melakukan liputan ke hutan konservasi itu karena ada oknum yang memanfaatkan masyarakat sebagai tameng.
“Ketika kami masuk itu tidak mudah, masyarakat curiga terutama saat membawa kamera. Posisi kami bisa saja terancam jika ketahuan sedang melakukan liputan untuk membongkar pelaku perambahan. Tetapi, kami tetap memberanikan diri masuk untuk mendapatkan fakta,” katanya.
Koordinator Polhut Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Rahmat, mengatakan BKSDA Aceh selama ini tidak berdiam diri terhadap deforestasi yang terjadi di SM Rawa Singkil. Pihaknya juga sudah beberapa kali menangkap pelaku perambahan agar dapat diberikan penegakan hukum atas perbuatannya.
“Dari tahun 2015-2022 penegakan hukum sudah lima kali kita berikan yang terakhir Oktober tahun lalu, kami tangkap empat orang di Desa Cot Bayu, Trumon sudah vonis hukumannya 1 tahun 2 bulan denda Rp250 juta dan subsider 3 bulan,” katanya.
Di sisi lain, Rahmat menyampaikan bahwa BKSDA juga terkendala kekurangan personel yang bertugas mengawas dan berpatroli di SM Rawa Singkil yang luasnya mencapai 82.188 hektare dan secara administratif tersebar di tiga wilayah yakni Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil, dan Kota Subulussalam.
“Personel kami dari BKSDA yang mengantisipasi permasalahan di Rawa Singkil jumlahnya cuma 14 orang, yakni Trumon, Aceh Selatan 3 personel, Rundeng di Subulussalam ada 5 personel, dan Aceh Singkil berjumlah 6 personel,” katanya.
Selain itu, tantangan lainnya juga terhadap tapal batas yang masih belum selesai di Aceh Selatan sepanjang 73 km dan Subulusalam 30 km. Kemudian, juga terdapat penolakan dari masyarakat terhadap batas kawasan SM Rawa Singkil.
Kata dia, masyarakat setempat meminta batas SM Rawa Singkil 5 km dari jalan aspal.
“Belum ada tata batas Ini menjadi permasalahan, lalu masyarakat juga menginginkan pembukaan lahan 5 kilometer dari pinggir kawasan, jika 5 kilometer maka habis kawasannya,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Ahmad Salihin, mengatakan kerusakan di hutan konservasi SM Rawa Singkil tidak hanya dari kegiatan ilegal tapi juga kegiatan legal dan upaya baru lainnya seperti rencana dari Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan yang ingin mengambil sekitar 9.371 ha lahan di SM Rawa Singkil menjadi area penggunaa lain (apl) untuk kombatan GAM dan korban konflik.
“Ada tiga alasan perambahan di sana kalau kita lihat dalam film tadi, pertama memang benar-benar tidak tahu, kemudian pura-pura tidak tahu, dan terpaksa karena warga tidak memiliki lahan pertanian sehingga melihat orang lain bisa kenapa mereka tidak bisa,” katanya.
Akan tetapi semua alasan itu tidak bisa dibenarkan dan harus ada tindakan yang cukup kuat dari pemerintah yakni BKSDA dan Balai Besar Gakkum Wilayah Sumatra karena memiliki kewenangan yang cukup untuk menghentikan kegiatan itu dan segera bertindak.
“Kemudian untuk tata batas harus segera dilakukan sehingga tidak ada alasan ketidaktahuan dan perlunya syok terapi untuk menjadi pembelajaran bagi yang lain agar tidak membuka tutupan hutan,” kata Ahmad Salihin yang akrap dipanggil Om Sol.
Penyidik Balai Penegakkan Hukum (Gakkum) KLHK Wilayah Sumatera, Herwin Hermawan, yang turut hadir dalam diskusi ini mengatakan bahwa untuk menyelesaikan persoalan di SM Rawa Singkil tidak hanya dapat diselesaikan dengan memberikan penegakan hukum saja, tetapi perlu dicari akar persoalan agar dapat ditangani sesuai persoalan yang ada di wilayah setempat.
“Kita ingin menyelesaikan permasalahan bukan berarti kita melakukan tindakan penegakan hukum tetapi kemudian ada lagi. Kita ingin menyelesaikan persoalan bukan hanya tugas. Kita coba mengidentifikasi dengan film ini, kita mencoba membangun edukasi dan pemahaman dengan wilayah-wilayah tadi,” katanya.
Sementara itu, Perwakilan Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup (P2LH), Fahmi mengkritisi Balai Gakkum KLHK dan BKSDA yang dinilai lamban dalam menangani masifnya deforestasi di SM Rawa Singkil. Ia menilai belum ada upaya yang cukup konkrit untuk melakukan upaya penyelesaian dalam menyelamatkan SM Rawa Singkil.
“Terlepas dari BKSDA atu Balai Gakkum ada upaya, tetapi kami tidak tahu hari ini. Kami belum melihat ada upaya yang sudah dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan dan menyelamatkan SM Rawa Singkil agar ini tidak terus terjadi,” katanya.
Ia juga menyampaikan bahwa P2LH juga telah menyampaikan pengaduan dan laporan terkait aktivitas alih fungsi lahan ini ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan karena melihat sikap kurang berani BKSDA dalam menyelamatkan SM Rawa Singkil dari tangan-tangan perambah yang diduga dibekengi pejabat dan penegak hukum.
“Kami sudah menyampaikan pengaduan ke Kementerian LHK agar dapat turun langsung mengatasi persoalan ini karena melihat BKSDA seperti kurang berani apalagi stafnya cuma 14 orang berhadapan dengan banyak orang di sana. Kami harap BKSDA juga mengandeng KLHK agar permasalahan ini cepat diatasi,” katanya.
Koordinator Simpul Pantau Gambut Aceh, Monalisa, juga turut memberikan pandangannya. Dosen di Fakultas Pertanian USK itu menyampaikan bahwa deforestasi di SM Rawa Singkil bisa menimbulkan dampak ekologis yang akhirnya meningkatkan intensitas banjir.
“Sebenarnya tidak semua tanah di SM Rawa Singkil itu gambut, tetapi karena berbatasan laut kalau terjadi penurunan permukaan di lahan gambut (subsidence) maka air laut tadi bisa masuk ke dalam.
Kemudian, kalau rawa gambut yang sudah terbuka juga lebih cepat kering tanahnya sehingga lebih mudah memicu karhutla,” katanya.