Oleh : M Dhuhar Trinanda*
Serangan Israel ke Gaza, yang telah berlangsung selama 48 hari sejak perang dimulai pada 7 Oktober, telah menelan korban lebih dari 14.500 orang, termasuk 6.150 anak-anak dan 4.000 wanita yang tewas, dengan 36.000 lainnya terluka hingga tanggal 24 November 2023. Belum lama ini, Israel menyerang rumah sakit Indonesia di Gaza. Serangan ini menjadi yang paling mematikan di antara lima perang di Gaza bagi kedua belah pihak.
Konflik antara Israel dan Palestina memiliki sejarah panjang, dimulai pada 2 November 1917, ketika Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour, menulis Deklarasi Balfour yang menjanjikan pembentukan rumah nasional bagi orang Yahudi di Palestina. Mandat Inggris dari 1923 hingga 1948 memunculkan perlawanan dari warga Palestina terhadap perubahan demografi dan penyitaan tanah oleh Inggris untuk pemukim Yahudi. Deklarasi Balfour inilah yang menjadi cikal bakal serangan Israel untuk merebut wilayah tanah palestina.
Serangan besar Israel ke Gaza telah terjadi pada perang tahun 1948, 1967, dan 1973, menyebabkan Israel merebut seluruh wilayah Palestina. Serangan-serangan ini melanggar prinsip-prinsip hukum humaniter internasional sehingga diperlukan tindakan konkret dari PBB sebagai organisasi internasional untuk menegakkan Hukum Humaniter Internasional.
Hukum Humaniter Internasional (HHI) merupakan seperangkat aturan yang bertujuan membatasi dampak kemanusiaan dari konflik bersenjata. Aturan dasar hukum humaniter internasional dalam konflik adalah bahwa semua pihak harus membedakan, setiap saat, antara kombatan dan warga sipil. Warga sipil dan objek sipil tidak pernah dibolehkan menjadi sasaran serangan; pihak-pihak tersebut hanya boleh menyasar kombatan dan sasaran militer.
Jika suatu serangan tidak bisa membedakan antara kombatan dan warga sipil atau diperkirakan akan menyebabkan kerugian yang tidak proporsional terhadap penduduk sipil dibandingkan dengan keuntungan militer, maka serangan tersebut juga dilarang. Dari berbagai laporan berita, terlihat bagaimana Israel menyerang berbagai target sipil seperti perumahan, sekolah, dan rumah sakit tanpa pandang bulu. Pihak Israel mengklaim bahwa lokasi-lokasi tersebut digunakan sebagai tempat persembunyian oleh pejuang Hamas.
Instrumen hukum humaniter terdiri dari Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa. Hukum Den Haag terdiri dari, Konvensi den Haag 1899 dan 1907 mengenai cara dan alat berperang. Hukum Jenewa 1949 yang mengatur mengenai perlindungan korban perang terdiri dari empat perjanjian pokok, yaitu;
a Konvensi Jenewa I tentang Perbaikan keadaan tentara yang luka dan sakit di medan pertempuran darat,
b. Konvensi Jenewa II tentang Perbaikan keadaan Tentara yang luka dan Sakit di Medan Pertempuran laut,
c. Konvensi Jenewa III tentang Perlakuan Tawanan Perang, dan
d. Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan Penduduk Sipil di Waktu Perang
Berdasarkan Konvensi Jenewa III tentang Perlakuan Tawanan Perang siapapun yang ditahan, misalnya tawanan perang harus diperlakukan secara manusiawi. Penyanderaan dan penggunaan orang sebagai “perisai manusia”, adalah sesuatu yang dilarang. Selama masa gencatan senjata terjadi pertukaran tawanan perang antar israel dengan palestina dan bisa kita melihat bagaimana kondisi dari warga palestina yang menjadi tawanan perang israel mengalami penyiksaan fisik berbanding terbalik dengan warga israel yang menjadi tawanan hamas dengan kondisi sehat.
Pelanggaran lainnya juga dalam penggunaan bom fosfor oleh pasukan militer Israel di daerah padat penduduk di barat laut Kota Gaza, efek bom fosfor yang sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kerusakan parah, terutama luka bakar saat kontak dengan kulit, atau bahkan saat uapnya terhirup. Maka penggunaan fosfor sebagai bom dilarang berdasarkan Pasal 23 ayat 1, 2, dan 4 Konvensi Den Haag 1907 yang menyebutkan para pihak yang bersengketa dilarang untuk menggunakan senjata racun/beracun, membunuh/melukai secara keji, serta menggunakan senjata/peluru yang menimbulkan penderitaan yang berlebihan.
Secara garis besar aturan perang dalam HHI menurut Ambarwati (Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional) mengandung 8 (delapan) prinsip yang wajib dipatuhi oleh masyarakat dunia internasional; pertama, Kemanusiaan, yakni pihak pihak yang tidak berperang dan mengangkat senjata atau non kombatan harus dijauhkan sebisa mungkin dari arena pertempuran, dan korban luka harus diusahakan seminimal mungkin. Kedua, Kepentingan, yaitu yang dapat dijadikan sasaran serangan dalam pertempuran adalah objek militer.
Ketiga, Proporsional, yaitu setiap serangan dalam operasi militer harus didahului dengan tindakan yang memastikan bahwa serangan tidak akan menyebabkan korban dan kerusakan yang berlebihan. Keempat, Pembedaan, yakni dalam konflik bersenjata harus dibedakan kombatan dan orang sipil. Kelima, Pembatasan berupa larangan yang menyebabkan penderitaan tidak sepatutnya.
Artinya, prinsip ini berkaitan dengan metode dan alat perang. Misalnya larangan menggunakan racun, peluru, senjata biologi, dan lainnya. Keenam, Pemisahan “Jus ad Bellum” dan “Jus in Bello”. Ketujuh, Patuhi ketentuan minimal HHI, yakni Konvensi Jenewa 1949. Kedelapan, Tanggung jawab dalam pelaksanaan dan penegakan HHI yang wajib dihormati pemerintah dan warga negara yang bersangkutan.
Mekanisme Penegakan Hukum Humaniter
Mekanisme penegakan Hukum Humaniter Internasional yang dapat ditempuh, untuk menghukum para pelaku kejahatan perang antara lain :
a. Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977.
Berdasarkan pasal 49 ayat 1 Konvensi Jenewa 1949 maka Negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa harus menerbitkan undang-undang nasional yang dapat memberi sanksi pidana yang efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi.
b. Melalui Mahkamah ad hoc kejahatan perang.
Dalam sejarah dikenal ada dua Mahkamah yang mengadili penjahat Perang Dunia II yaitu, Mahkamah Tokyo untuk mengadili para penjahat perang Jepang, mahkamah Nuremberg untuk mengadili penjahat perang Nazi, Jerman. Setelah Perang Dunia II, telah dibentuk Mahkamah Kriminal Internasional untuk bekas Yugoslavia (international crimi-nal Tribunal for the Former Yugoslavia/ICTY) dan untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda).
c. Melalui Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) ICC didirikan dengan Statuta Roma 1998.
Mahkamah ini bersifat permanen untuk mengadili kejahatan-kejahatan yang sangat serius (the most serious crimes). ICC berwenang mengadili atas empat macam kejahatan, yaitu: genocide, rimes againts humanity, Crimes of War dan Crimes of ag- ression. ICC ini bersifat sebagai pelengkap dari pengadilan nasional, artinya jika suatu negara tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable) mengadili pelaku kejahatan perang maka ICC baru dapat melaksanakan jurisdiksinya. Negara-negara anggota PBB tidak secara otomatis terikat oleh Jurisdiksi ICC, tetapi melalui suatu pernyataan untuk mengikatkan diri dan menjadi pihak pada Statuta Roma. ICC mulai berlaku secara efektif sejak tahun 2002 ketika sudah mencapai 60 negara yang meratifikasi.
Walaupun Sampai saat ini Amerika Serikat dan Israel belum meratifikasi Statuta Roma 1998 tetapi pada dasarnya ICC berwewenang untuk melakukan penanganan kejahatan perang yang dilakukan Israel pada konflik bersenjata antara Palestina dan Israel karena: 1) Palestina memenuhi syarat sebagai negara di wilayah dimana perbuatan yang dipersoalkan terjadi, untuk tujuan Pasal 12 ayat (2)(a) Statuta Roma; 2) Palestina merupakan negara pihak Statuta Roma; dan 3) Yurisdiksi teritorial pengadilan dalam situasi di Palestina menjangkau wilayah yang diduduki Israel sejak 1967 (Gaza, Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur). Selanjutnya yurisdiksi ICC ialah sah dan tepat secara hukum diberlakukan terhadap pasukan militer Israel yang terbukti melakukan kejahatan perang kepada masyarakat Palestina dalam konflik bersenjata internasional antara Palestina dan Israel berdasarkan Pasal 8 dan Pasal 12 ayat (2)(a) Statuta Roma.
*Mahasiswa Magister Hukum Universitas Syiah Kuala